xOeSJZwEqEHxAtyEgOy1ztCUdVCJP06QsbYigFCu
Bookmark

Public Speaking (Sebuah Pengantar)






“Words have incredible power. 

They can make people’s hearts soar, or they can make people’s hearts sore”. 

(Dr. Mardy Grothe) 



Pendahuluan 
Public Speaking sangat penting bagi seorang pemimpin. Dalam quotes diatas, tampak bahwa hanya dengan mengeluarkan kata-kata lewat berbicara didepan public, mampu mengarahkan perasaan dan pemikiran seseorang pada perubahan. Banyak pemimpin dunia melakukan perubahan lewat penguasaan mereka dalam berbicara didepan publik, dan meyakinkan mereka untuk melakukan perubahan. Pemimpin seperti Bung Karno, Mathin Luther King Jr, Margareth Teacher, dan lainnya mempengaruhi sekumpulan orang, lewat public speaking yang baik, dan penuh akan makna dalam menyongsong perubahan. Kata-kata yang keluar dari pemimpin seperti ini, seperti magnet yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi setiap orang dalam pikiran dan melakukan sebuah tindakan. 
    Dengan penguasaan terhadap public speaking, seorang pemimpin mampu untuk mengkomunikasikan dan mendelegasikan setiap makna dalam kata-katanya menjadi sebuah tindakan yang bergerak pada perubahan yang lebih baik. Dalam setiap kata seorang pemimpin bukan hanya berisikan retorika-retorika kosong, akan tetapi mengandung arahan yang jelas dan tepat terhadap sebuah tujuan. Public speaking menjadi semacam komando yang jelas terhadap perubahan yang dicita-citakan dan bagaimana hal tersebut dapat dicapai. Untuk itu public speaking memiliki kekuatan besar dalam menciptakan perubahan. 
    Akan tetapi tidak semua orang mampu menjadi public speaker yang baik, sama seperti tidak semua orang terpilih untuk menjadi pemimpin. Menurut Abraham Lincoln, kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi orang dan public speaking adalah salah satu cara menciptakan pengaruh tersebut. Banyak orang memiliki kepintaran dan pemikiran yang baik, akan tetapi hal tersebut tidaklah cukup bagi seorang pemimpin. Pemimpin membutuhkan kemampuan public speaking sebagai kekuatan dalam mempengaruhi setiap orang untuk merasakan dan memikirkan untuk bergerak atau bertindak. Untuk itu seorang pemimpin haruslah belajar tentang public speaking dan mampu untuk menerapkannya secara efektif. 
    Saya sadar bahwa tidak semua calon pemimpin memiliki kemampuan public speaking. Hal tersebut dikarenakan public speaking bukanlah bawaan sejak lahir, akan tetapi perlu untuk dilatih. Seorang seperti King George VI dan Bung Karno harus terus berupaya untuk berlatih melakukan public speaking, agar mampu berbicara didepan orang banyak secara baik. Untuk itu dalam tulisan ini akan dijelaskan perkembangan public speaking dan bagaimana melakukannya secara efektif. 

Sejarah Public Speaking 
Public speaking berakar dari tradisi politik peradaban Yunani Kuno. Untuk itu public speaking tidak pernah lepas dari aspek politik. Karena dalam public speaking ada tujuan untuk mempengarui dan mengarahkan. Dalam bahasa Yunani public speaking berasal dari kata ητορικός (“Retorika”), yang berarti “Pidato”. Retorika berkaitan juga dengan berkata dan berucap. 
    Retorika berawal dari kultur pemerintahan Yunani kuno yang melibatkan partisipasi politik masyarakat sebagai elemen terpenting dalam pengambilan keputusan. Para politisi sering melakukan pidato-pidato di tempat terbuka untuk didengarkan oleh masyarakat untuk mempersuasi mereka dan sekaligus melebarkan pengaruh para politisi itu sendiri. Para orator-orator Yunani tidak berbicara sebagai perwakilan pihak lain atau konstituen tertentu. Mereka berpidato di publik atas nama diri mereka sendiri. Setiap warga negara yang ingin menonjol dan berhasil dalam karier politik harus mempelajari teknik-teknik berbicara di depan publik. 
    Makna “retorika” kemudian berkembang menjadi seni menyusun dan menyampaikan pidato di depan publik dengan tujuan untuk mempersuasi. Dari sinilah kata “retorika” muncul sebagai alat yang sangat krusial untuk mempengaruhi kondisi perpolitikan dan pemerintahan Yunani. Keterampilan berpidato ini diajarkan oleh kaum sofis. Mereka dikenal sering menerima bayaran untuk mengajarkan bagaimana membuat argumen yang lemah menjadi lebih kuat. Mereka juga memiliki murid-murid yang dilatih dalam teknik berbicara di depan publik. 
    Tokoh retorika saat itu seperti Gorgias (485-380 SM), yang merupakan seorang sofis dan ahli retorika yang hidup sebelum era Socarates. Gorgias dapat dikatakan sebagai salah public speaker profesional, sekaligus komersil, yang pertama dalam sejarah. Gorgias menyatakan kekuatan retorika sebagai alat yang efektif untuk membujuk dengan mengatakan bahwa retorika membuat orang mampu “mempersuasi dengan kata-kata para hakim-hakim di pengadilan dan senator-senator yang berkepentingan”. Hal tersebut yang dikritik oleh Plato. Plato mengkritik retorika sofistik seperti yang diajarkan oleh Gorgias karena menurutnya kaum sofis menggunakan retorika hanya untuk menampilkan pidato-pidato persuasif yang mementingkan kepentingan pribadi, bukan didasarkan pada keadilan. Retorika seperti ini berbahaya bila terus menerus dipraktekkan, apalagi diajarkan pada generasi muda, karena dapat membentuk masyarakat yang tidak adil. 
    Solusi Plato bagi kritik yang ia kemukakan terhadap retorika sofistik terdapat dalam dialognya yang berjudul Phaedrus. Phaedrus memuat gagasan Plato tentang seni persuasi sejati dalam berpidato. Menurutnya, seni persuasi yang benar bertujuan untuk mencapai tatanan masyarakat yang lebih baik. Seorang peretorika harus mengenal jiwa manusia, mempelajari ragam karakter manusia, dan menyadari kekuatan di balik penggunaan kata-kata. Dalam Phaedrus, Plato mengusulkan bahwa inti dari sebuah seni retorika yang sejati adalah kemampuan untuk menyesuaikan argumen dengan tipe kepribadian manusia yang berbeda-beda. Plato menyatakan bahwa seorang pembicara harus menemukan jenis pidato yang sesuai dengan masing-masing tipe kepribadian manusia. Beberapa ahli mencatat bahwa Plato dan Socrates mengkaitkan antara kekuatan berargumen dengan menggunakan kata-kata (logoi) dengan pengetahuan tentang psikologi manusia. 
    Berikutnya, muncullah Aristoteles yang dapat dikatakan sebagai kontributor terbesar dalam perkembangan retorika di dunia Barat. Tulisan Aristotles Retorika dibagi menjadi tiga buku. Buku pertama mendefinisikan retorika, menetapkan ruang lingkup retorika, serta membagi retorika menjadi tiga jenis oratori (pidato). Buku kedua membahas tentang strategi-strategi retoris yang terdiri dari karakter dan emosi. Buku ketiga berbicara tentang gaya berbicara dan pengaturan argumen dan kata-kata. 
    Menurut definisi Aristoteles, “retorika adalah kemampuan (dunamis: juga dapat berarti kapasitas atau kekuatan) untuk mempraktekkan, pada berbagai kondisi, cara-cara persuasi yang tersedia”. Dengan mengemukakan definisi ini, Aristoteles mengubah posisi retorika dari semata-mata sebuah praktek berpidato atau berorasi menjadi sebuah proses kreatif. Dalam buku pertamanya, Aristoteles menyatakan bahwa ada tiga elemen teknis yang merupakan inti dari ilmu retorika; terdiri dari (1) penalaran logis (logos), (2) penggugah emosi atau perasaan manusia (pathos), dan (3) karakter dan kebaikan manusia (ethos). Selain itu, ia juga menyebutkan beberapa elemen non teknis (atechnoi pisteis) seperti dokumen atau kesaksian. Elemen non-teknis ini dianggapnya berguna dalam berargumen namun bukan bagian dari pembelajaran retorika. 
    Logos juga dapat diartikan sebagai makna dari gagasan yang terdapat dalam kata-kata, percakapan, argumen atau kasus. Logos juga dapat berarti akal budi atau rasionalitas. Pada dasarnya, manusia dibedakan dari makhluk lainnya karena memiliki logos. Logos yang terkait erat dengan proses penalaran dan membuat kesimpulan, sangat erat terkait dengan logika. Namun yang lebih esensial bagi Aristoteles bukanlah aspek teknis dari logika. Inti retorika adalah cara orang bernalar dan cara pengambilan keputusan tentang persoalan-persoalan publik yang penting. Logos adalah pembelajaran tentang argumen-argumen yang dikemukakan sebagai hasil dari proses penalaran yang biasa dilakukan orang dalam praktik pengambilan keputusan. 
    Selanjutnya Aristoteles mendefinisikan pathos sebagai “meletakkan audiens dalam kerangka pemikiran yang tepat”. Konsep Aristoteles tentang pathos sebagai aspek emosional dari sebuah pidato. Ia berpendapat bahwa emosi seseorang memiliki pengaruh besar terhadap kemampuannya untuk melakukan penilaian (judgment). Menurutnya, seorang pembicara yang memiliki pengetahuan memadai dapat menyentuh perasaan dan keyakinan yang berpengaruh terhadap penilaian audiens dan, dengan demikian, dapat menggerakkan mereka untuk meyakini apa yang disampaikan pembicara. Lebih lanjut, ia juga menekankan pentingnya seorang pembicara untuk memiliki penilaian yang benar secara moral, bukan semata-mata keinginan pragmatis untuk memenangkan sebuah argumentasi. Jadi pembelajaran tentang pathos adalah pembelajaran tentang psikologi emosi dan dituntun oleh beban moral untuk menemukan dan menyampaikan kebenaran serta melakukan yang benar. 
    Berikutnya dalam Retorika, Aristoteles berbicara mengenai karakter dan kredibilitas seorang pembicara. Menurutnya, kedua hal ini harus timbul dari seorang pembicara pada saat ia menyampaikan pidatonya. Aristoteles membagi karakter menjadi tiga bagian. Untuk mencapai ethos, seorang pembicara harus memiliki (1) kepandaian, nalar yang baik (phronesis), (2) integritas atau moralitas (arete), dan (3) niat baik (eunoia). Seorang peretorika yang terlatih harus mengerti karakter bagaimana yang diterima dan dipercaya oleh masyarakat yang menjadi audiensnya. Bila pathos adalah psikologi mengenai emosi manusia, maka ethos dapat dikatakan sebagai sosiologi mengenai karakter manusia. Aristotles menganggap ethos sebagai aspek terpenting dari ketiga elemen yang ia ajukan karena ethos memiliki potensi persuasif yangtinggi. Bila audiens yakin bahwa seorang pembicara menguasai apa yang ia bicarakan dan memiliki niat yang baik untuk audiensnya, maka ia akan diterima dan dipercaya oleh audiensnya. 
    Selain ketiga elemen di atas, Aristoteles juga membahas pembawaan, gaya bicara dan penyusunan pidato dalam bukunya. Pembawaan pidato, menurutnya penting karena berkaitan dengan bagaimana audiens menerima apa yang dikatakan oleh pembicara. Ia berpendapat bahwa kemampuan berdramatika adalah bakat seseorang sehingga pembawaan yang efektif sulit diajarkan. Hal terpenting adalah diksi (pemilihan kata-kata) yang tepat. Gaya berbicara atau gaya berbahasa harus disesuaikan dengan kondisi yang ada. Hal yang terpenting adalah kejelasan. Kejelasan dapat dicapai apabila kata-kata yang digunakan sesuai dengan perkembangan jaman dan dapat dimengerti orang awam. Seorang pembicara harus mampu berbicara menggunakan bahasa tutur yang dikenal dalam pembicaraan sehari-hari. Dalam bahasa Aristoteles, “bahasa yang persuasif adalah yang natural”. 

Definisi Public Speaking 
Public speaking selalu dibutuhkan di setiap ranah kehidupan; bahkan, hampir semua pekerjaan membutuhkan ketrampilan dalam public speaking. Menurut Verderber dan Sellnow (2008) Public speaking ini didefinisikan sebagai percakapan—presentasi secara oral yang biasanya disampaikan secara formal—dalam kondisi audiensnya dihimpun dalam konteks yang formal untuk mendengarkan atau selama percakapan informal. Verderber dan Sellnow (2008) menambahkan bahwa, Public speaking skills empower us to communicate ideas and information in a way that all members of the audience can understand. Konsep yang ditawarkan oleh Verderber dan Sellnow ini mengindikasikan bahwa public speaking bersifat formal, tentang sebuah ide, dan disampaikan dalam konteks tertentu. 
    Hal tersebut serupa dengan definisi yang diberikan oleh Webster Third New International Dictionary, public speaking memiliki dua definisi : 
  • The act of process of making speech in public 
  • The art of science of effective oral communication with audience 
Dengan demikian public speaking merupakan sebuah tindakan berbicara didepan umum dengan menggunakan oral komunikasi kepada audiens yang lebih efektif. 

Elemen-elemen dalam public speaking 
Dalam public speaking terdapat beberapa elemen, yakni: speaker, message, audience, noise, context, channel, ethics. 

A. Speaker (Pembicara) 
Dalam public speaking, pembicara adalah orang yang menyampaikan pesan atau informasi melalui ceramah yang relatif lama dan tidak mendapatkan interupsi dari audiens. Public speaker adalah pusat dari transaksi pesan yang terjadi. Dalam praktiknya, seorang public speaker tidak hanya berbicara saja, dia juga harus memiliki ketrampilan untuk berinteraksi dan mengontrol percakapan dengan audiens yang terjadi sesekali sehingga pesan yang disampaikkan menjadi hidup. Ketrampilan inilah yang sesungguhnya harus dimiliki oleh seorang public speaker. Pertama-tama, seorang public speaker hendaknya memahami siapa dirinya. Dia adalah orang yang sedang memberi pengaruh bagi banyak orang atas apa yang dia katakan. Oleh karenanya, pemahaman yang tepat akan materi, perencanaan yang matang, dan penguasaan panggung yang handal perlu dimiliki olehseorang public speaker yang berpengaruh. 

B. Audience 
Public speaking memiliki audiens yang relatif besar. Pada umumnya, audiens yang dapat terhitung sebagai public audience adalah 10-12 orang sampai ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang. Audiens dalam public speaking ada dua macam. Yang pertama adalah immediate audience atau audiens langsung, yakni mereka yang dikenai langsung oleh pesan yang disampaikan oleh public speaker. Sedangkan remote audience atau audiens jarak jauh adalah mereka yang terkena dampak tidak langsung oleh pesan yang disampaikan oleh pembicara. Semakin besar pengaruh seorang public speaker maka semakin besar juga remote audience yang dipengaruhinya. 
Karena audiens adalah pihak yang dipengaruhi oleh pesan dalam public speaking, speaker harus benar-benar memperhatikan siapa audiensnya. Di dalam public speaking, walaupun seorang speaker sudah mahir, tetaplah harus melakukan audience research, yakni kegiatan untuk meneliti, mengklasifikasikan, serta menyimpulkan siapa audiensnya. Untuk audiens yang belum dikenal sama sekali, biasanya riset bisa dilakukan dengan menelpon pihak penyelenggara acara untuk menanyakan siapa audiensya (usia, jumlah, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, dll), lalu melakukan konfirmas melalui mencari lewat internet atau membaca referensi mengenai kelompok audiens tersebut. 

C. Message 
Pesan dalam public speaking terdiri dari tanda-tanda verbal maupun nonverbal. Di dalam public speaking, menyusun sebuah pesan tidak dapat dilakukan dengan sembarangan. Sama seperti ketika menentukan karakteristik audiens, menyusun pesan pun harus didahului dengan riset. Bahkan, dalam membungkus pesan pun, speaker harus menggunakan bahasa dan gaya bahasa yang bervariasi, disesuaikan dengan siapa audiensnya, topik yang akan dibahas, serta di mana tempat public speaking-nya. 

D. Noise 
De Vito (2009) membedakan antara noise dengan signal. Jika signal adalah segala macam informasi atau pesan yang ingin didengar oleh audiens maka noise adalah segala sesuatu yang tidak ingin didengar dan mengganggu audiens saat menerima signal. Karena public speaking bisa dalam bentuk verbal maupun non-verbal maka noise-nya pun juga dalam bentuk verbal dan nonverbal. Speaker hendaknya benar-benar berlatih mengelola noise ini karena acapkali noise bisa tidak terkontrol. Misalnya: microphone yang rusak atau suara sirine yang sangat kencang. 

E. Context 
De Vito (2009) membagi konteks ini menjadi konteks fisik, psikososial, temporal, dan konteks cultural. Konteks fisik adalah tempat dan lingkungan yang sebenar-benarnya yang digunakan sebagai tempat berbicara (ruangan, lapangan, gedung, dll), beserta peralatan dan perlengkapan yang ada di dalamnya. Ruangan yang sempit menyebabkan speaker harus berbicara dengan persiapan yang berbeda dengan ruangan yang luas atau lapangan. Konteks psikososial merupakan hubungan antara speaker dengan audiensnya. Bagaimana karakter dan latar belakang speaker dan audiens serta hubungan di antaranya selalu mempengaruhi pesan yang disampaikan. Konteks temporal meliputi waktu dan jam di mana public speaking itu dilakukan. Konteks cultural mencakup kepercayaan, gaya, nilai-nilai, bahkan gender dan perilaku dari speaker dan audiens yang dibawa pada saat presentasi. 

F. Channel 
Channel adalah sebuah medium untuk membawa signal pesan dari pengirim kepada penerima. Dalam public speaking channel ini wujudnya bisa bermacam-macam, baik secara visual maupun non visual, misalnya melalui slide-slide di computer atau video, gambar-gambar, dan lainnya. 

G. Ethics 
Ethics berbicara tentang benar atau salah atau implikasi moral dari pesan yang disampaikan. Seorang speaker harus menguasai hal-hal apa saja yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan ketika menyampaikan suatu pesan. 

Menjadi Publik Speaker yang Efektif 
Setiap orang potensial menjadi public speaker yang efektif, karena setiap orang memiliki potensi menjadi pemimpin dengan keunikan dan perbedaan mereka. Untuk menjadi public speaker yang efektif, maka perlu melakukan persiapan, menjadikannya sebuah kebiasaan, menghindari dari kesalahan dan terus melakukan public speaking. Pada bagian ini akan memberikan beberapa tips untuk menjadi public speaker yang baik. 

1. Komitmen dengan topik 
Seorang public speaker haruslah antusias dan komitmen terhadap topik yang disampaikan. Untuk antusias dan komitmen tersebut, maka seorang pembicara perlu untuk menguasai dan melakukan riset terlebih dahulu terhadap topik. Audiens akan lebih tertarik pada topik yang disampaikan, apabila public speaker menyampaikan secara antusias, komit dan menguasainya. Jika ada topik yang tidak dikuasai, maka janganlah berbicara tentang topic tersebut. 

2. Jangan berpikir tentang anda 
Sering kali, sebelum naik ke podium untuk berbicara, public speaker memiliki ketakutan terhadap pandangan audiens tentang dirinya. Untuk itu janganlah coba-coba berpikir tentang sesuatu yang akan menimpa anda, namun tetaplah fokus dan menguasai topik yang akan dibicarakan. Selain itu, dalam bebicara pada public, hindarkan diri untuk menonjolkan diri sendiri, karena audiens akan merasa bosan dengan penilaian-penilaian subyektif yang anda berikan. 

3. Lakukan persiapan 
Hanya sedikit yang dapat berbicara secara efektif tanpa beberapa persiapan, dan jika ada sedikit saja kesalahan, maka dapat menimbulkan rasa panik gugup. Untuk itu, ada baiknya melakukan persiapan lewat penelitian dan latihan. Dengan persiapan, akan membuat anda lebih santai, fokus dan percaya diri. 

4. Fokus 
Fokus pada topik dan persiapan yang telah dilakukan, serta berusahalah menguasai lingkungan disekitar panggung. Saat anda fokus, anda akan berupaya untuk mengorganisir pembicaraan anda secara lebih baik. 

5. Temukan contoh-contoh yang sempurna 
Dalam berbicara berikan contoh-contoh yang baik dan tepat. Contoh-contoh tersebut dapat berasal dari pengalaman atau sumber-sumber lain. Contoh-contoh akan lebih memudahkan audiens untuk mengingat topik yang dibicarakan. 

6. Minimilasir catatan 
Banyak orang menghafal pidato atau mereka membuat daftar panjang catatan dengan melampirkan berbagai metode. Pendekatan ini mengurangi kemampuan alami anda untuk berkomunikasi, karena merubah anda dari seorang pembicara menjadi pembaca. Jadilah akrab dengan pidato anda dan cukup nyaman untuk melakukan perubahan jika diperlukan. 

7. Hadirkan diri anda dalam pidato anda 
Anda harus tetap fokus dan menyatu dengan pidato yang anda berikan. Keberadaan anda tampak dari pidato yang anda sampaikan. 

8. Berhubungan dengan audiens 
Membangun hubungan dengan audiens dapat dengan memperhatikan body language seperti senyum, tatapan mata dan gerakan tubuh. Berhubungan dengan audiens akan membantu audiens untuk tetap fokus dan tertarik pada pidato yang anda sampaikan. 

9. Kuasailah media yang digunakan 
Jika anda mengunakan media lain dalam berpidato, maka upayakan anda menguasai media tersebut. Media akan membantu audiens memahami pidato yang diberikan, akan tetapi jangan sampai media yang menguasai panggung anda. 

Penutup 
Menjadi pemimpin tidak lepas dari penguasaan terhadap berbicara didepan publik. Dan dalam berbicara didepan public tidak lepas dari tujuan yang diharapkan dari seorang pemimpin. Pemimpin bukanlah berbicara atau beretorika kosong terhadap public, namun menyampaikan sesuatu kebenaran dengan tujuan menciptaka sebuah tatanan yang lebih baik. Publik speaking membantu pemimpin menjadi lebih efektif dalam menyampaikan berbagai ide dan pemikirannya kepada public. Hanya lewat public speaking yang efektif, seorang pemimpin dapat berkomunikasi tentang nilai-nilai yang diharapkan bagi kelompok dan masyarakat. Perubahan dapat tercipta dalam kelompok dan masyarakat, hanya dengan melakukan public speaking yang efektif dan bertanggung jawab. 

SUMBER :
  • DeVito, Joseph A. (2009). The Essential Elements of Public Speaking. USA : Pearson 
  • Soenarjo, Djoenasih S., Rajiyem. (2005). Public Speaking. Jakarta : Universitas Terbuka 
  • Littlejohn, Stephen W. (2002). Theories of Human Communication. USA : Wadsworth 
  • Verderber, Rudolph F., Verderber, Kathleen., Sellnow, Deanna D. (2008). The Challenge of Effective Speaking. USA : Thomson Wadsworth 
  • Hasling, John. (2006). The Audience, the Message, the Speaker (7th ed.). New York : McGraw Hill 
  • Herrick, James A. 2008. The History and Theory of Rhetoric: An Introduction (4th ed.). Allyn & Bacon 
  • King, Larry., Gilbert, Bill. 2004. Seni Berbicara kepada Siapa Saja, Kapan Saja, di Mana Saja: Rahasia-rahasia Komunikasi yang Baik (2nd ed.). Jakarta : Gramedia Pustaka Utama 
(Tulisan ini dibawakan Ricky A. Nggili dalam Pelatihan Training Organization FTI-UKSW di Wisma Bukit Soka, tanggal 14 Mei 2013)

3 komentar

3 komentar