Hukum di Indonesia membutuhkan
kepastian hukum yang dijalankan oleh para penegak hukum. Namun dalam beberapa
kasus, ada oknum-oknum penegak hukum yang berperilaku bertentangan dengan
prinsip dan asas hukum dalam mengayomi masyarakat. Mereka menggunakan celah
hukum di Indonesia untuk meloloskan diri dari tindakan melawan hukum yang
mereka lakukan. Kasus mungkirnya Joko Susilo dari panggilan KPK dan kesulitan
yang dihadapi oleh KPK dalam memeriksa perwira polisi tersebut,membuktikan
bahwa penegak hukum pun dapat amnesia dengan prinsip dan asas hukum yang selama
ini diperankan oleh dirinya. Penegak hukum lupa akan sumpah jabatan yang
diucapkannya, sebagai tanggung jawab yang harus dijaga dan dilaksanakan dimana
pun ia berada.
KPK sebagai salah satu institusi
hukum yang mengejar para pelaku kriminal yang merugikan kas negara selalu
berhadapan dengan tekanan-tekanan yang berat dalam menjalankan fungsinya.
Tekanan yang dihadapi akan lebih berat jika oknum pelanggaran hukum yang
diperiksa KPK adalah oknum penegak hukum, (yang notabene) mengetahui dan
memahami hukum dalam menjalani tugas dan panggilan pengabdian untuk negara.
Oknum penegak hukum yang bersalah selalu berupaya mencari celah hukum yang
digunakan oleh KPK untuk mampu mengeluarkan mereka, dari perangkap hukum yang
menangkap mereka. Berbagai kasus seperti kasus cicak versus buaya, hingga pada
saat ini kasus proyek simulator kendaraan ujian SIM, merupakan ujian berat bagi
KPK dalam menunjukan eksistensinya untuk menyelamatkan kas negara dari tindakan
korupsi dan menegakkan keadilan hukum di negara hukum NKRI.
Mungkirnya Inspektur Jenderal (Pol)
Djoko Susilo dari panggilan pemeriksaan oleh KPK beberapa waktu yang lalu
menunjukan bahwa sebagai penegak hukum, Djoko Susilo, mampu melihat celah hukum
untuk meminimalisir pemberatan hukum yang dikenakan padanya oleh lembaga hukum
KPK. Djoko Susilo berupaya untuk membenturkan KPK dan institusi penegak hukum
lainnya, yakni kepolisian, dalam menangani tindakan kriminal yang dilakukan
olehnya. Seorang penegak hukum kehilangan rohnya dalam menegakkan hukum, pada
saat ia menjadi tersangka dalam pelanggaran hukum. Dan pengetahuannya akan
hukum digunakan untuk membantunya untuk mencari jalan keluar dari persoalan
hukum yang dialami. Seorang oknum penegak hukum dapat bertindak melawan sumpah
jabatan yang menuntutnya untuk menjunjung tinggi hukum dan bekerja untuk
kepentingan negara. Seorang oknum penegak hukum akan bertindak selayaknya
amnesia terhadap sumpah yang diucapkan oleh dirinya sebagai pengabdi hukum
dalam menjalankan tegaknya keadilan. Seseorang jika dijadikan sebagai oknum
dihadapan hukum akan bertindak diluar roh penegak hukumnya, untuk berupaya
memutar balik hukum dan lolos dari rasa keadilan yang diharapkan oleh
masyarakat dan negara. Bahkan berupaya bersembunyi dibalik institusi hukum yang
dikianati olehnya.
Sebagai institusi hukum, KPK dan
kepolisian sudah seharusnya memiliki roh yang sama dalam menegakan keadilan.
Namun seringkali dibenturkan oleh kepentingan oknum kriminal tertentu. Hal ini
menyebabkan institusi hukum harus berupaya lepas dari kepentingan politis oknum
dan tetap menjaga roh dalam menegakan hukum. Jika kepolisian dan KPK tidak
mampu menjaga roh tersebut, maka suatu saat roh itu akan berbalik menghancurkan
nama baik institusi dan menyebabkan ketidak adilan bagi rakyat.
Hal ini juga diperhatikan oleh
seorang filsuf sepeti Plato. Menurut Plato “Selama kita memiliki tubuh yang
menemani argument kita, namun jika roh kita bercampur dengan yang jahat, maka
kita tidak akan memadai untuk mendapatkan apa yang kita inginkan”. Tubuh akan
mengalami kebingungan dalam mencari kebenaran, apalagi memperjuangkan suatu
kebenaran, jika tanpa ditemani oleh roh. Roh membantu manusia dalam menjalankan
sisi spiritualitasnya dalam menemukan kebenaran dan menegakan keadilan.
Penegak hukum haruslah memiliki roh
dalam menjalankan tugasnya, dan bukan hanya dibimbing oleh tubuh yang dapat
mengalami kebingungan jika diperhadapkan dengan keputusan etis. Tubuh oknum
penegak hukum kadangkala terjebak dengan penyimpangan hukum dan pemenuhan
kebutuhan duniawi. Sebagai seorang perwira, sudah seharusnya Djoko Susilo tidak
hanya memiliki tubuh sebagai penegak hukum, namun juga roh. roh yang menuntunnya
agar memahami tugas dan panggilannya dalam menciptakan jaminan keadilan. Hal
ini berkebalikan dengan sikapnya sebagai oknum kriminal yang menyebabkan negara
merugi. Para anggota penegak hukum di negara ini diuji untuk menjaga rohnya
untuk tetap tunduk dan taat pada hukum yang dipercayainya sebagai panglima
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
PERILAKU ROH PENEGAK HUKUM
Lalu
bagaimanakah sikap yang menunjukan kehadiran roh penegak hukum ? Sikap Abraham
Samad sebagai pimpinan KPK, yang tidak takut dengan siapapun atau institusi
apapun, dalam menegakkan keadilan dan memperjuangkan kebenaran di bumi
Indonesia, merupakan sikap yang menunjukan roh penegak hukum tersebut masih
ada. Roh itu masih hidup disaat banyak roh yang hilang, karena pemenuhan akan
kebutuhan tubuh. Abraham Samad tidak takut dan gentar saat dalam menegakan
hukum, walaupun istitusi yang dipimpinnya harus dibenturkan dengan intitusi
hukum lainnya. Ia berupaya agar janjinya terhadap rakyat Indonesia tidak akan
terjual pada ketidak adilan dan kepentingan kelompok tertentu. Abraham Samad
berupaya menjaga roh dalam dirinya, dan roh institusi yang dipimpinnya, agar
tetap setia pada tugas dan panggilan pelayanan bagi negara.
Perilaku yang ditunjukan tersebut
merupakan tindakan yang digerakan oleh roh penegak hukum. Lalu adakah contoh
lainnya, yang merupakan penegak hukum dan menjadi oknum, namupn tetap memiliki
roh sebagai penegak hukum dalam menjalani proses peradilan? Ya, contoh lainnya
yakni dapat dilihat dalam diri seorang Antasari Azhar. Sosok ini pernah menjadi
pemimpin KPK yang ditakuti oleh para koruptor dinegeri ini, namun diberhentikan
dari jabatannya di KPK, karena kasus pidana yang dihadapinya. Dalam menghadapi
kasus pidana tersebut, Antasari Azhar tidak menggunakan pengetahuan hukumnya
untuk mencari celah hukum dalam meloloskan dirinya. Namun ia secara sadar
mengikuti tiap tahap pemeriksaaan hingga proses peradilan yang dihadapinya.
Antasari menyadari bahwa walaupun sebagai sipesakitan dikursi terdakwa, ia
tidak boleh kehilangan roh penegak hukumnya. Hal ini membuatnya bersikap
seperti oknum terdakwa yang taat dan sadar akan hukum, dan mematuhinya. Roh
penegak hukum tidak hilang dalam dirinya, walaupun ia menjadi oknum. Malah
sebaliknya ia menunjukan kepada masyarakat agar taat dan mau mematuhi hukum,
jika sudah bersalah dihadapan hukum.
Sikap seperti inilah yang harus
dimiliki oleh para penegak hukum di Indonesia, dalam memberikan contoh dan
teladan kepada masyarakat dalam menjalani dan mematuhi hukum sebagai bagian
dari penegakan keadilan. Sebagai bagian dari bangsa yang besar, maka sudah
selayaknya setiap masyarakat Indonesia memahami hukum dan menjalankannya
sebagai bagian dari kesadaran hukum. Karena kesadaran tersebut merupakan bentuk
dari bekerjanya roh keadilan dan kebenaran. Hukum tidak akan tegak, tanpa
penegak hukum yang mengawasi proses dan pelaksanaannya secara adil dan tidak
menyimpang. Namun disisi lain hukum juga tidak akan jalan, jika penegak hukum
menjadikan dirinya kebal terhadap hukum dan kehilangan akan roh penegak hukum.
Jika saja setiap penegak hukum mampu
berperilaku sesuai dengan apa yang mereka yakini sebagai tugas dan
panggilannya, maka keadilan dan kebenaran akan tetap tegak dibumi Indonesia.
Selain itu masyarakat akan tetap menjadikan hukum sebagai suatu tindakan etis
dalam berperilaku yang baik dalam berbangsa dan bernegara. Penyimpangan hukum
dengan melibatkan aparat penegak hukum akan berkurang, dan masyarakat tidak
akan berani main-main atau memutar balikan hukum yang ada.
Namun, jika penegak hukum tidak
memiliki roh dalam menegakan hukum, maka masyarakat akan memiliki celah sebagai
peluang untuk melakukan pelanggaran hukum. Dan dalam melakukan pelanggaran
hukum tersebut melibatkan penegak hukum. Hukum yang menjadi panglima dalam
kehidupan bernegara akan dikesampingkan oleh oknum-oknum penegak hukum. Sumpah
jabatan akan terjual pada nafsu pemenuhan kebutuhan. Intitusi tidak memiliki
kekuatan dalam mengontrol dan mengawasi anggotanya, yang menyebabkan institusi
hanya akan menjadi tunggangan dalam melakukan tindakan pelanggaran hukum.
Institusi tidak memiliki kemampuan untuk memberdayakan roh para penegak hukum
dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai penjamin tegaknya
keadilan ditengah-tengah masyarakat. Institusi hukum harus kembali pada rohnya,
dan terus berupaya untuk membuat anggotanya sadar akan roh dalam diri mereka.
Ricky Arnold Nggili
Posting Komentar